Senin, 30 Juni 2025

SOAL UAS KOMUNIKASI : AYAT AL-QUR’AN ATAU HADIST YANG BERKAITAN DENGAN KOMUNIKASI

AYAT AL-QUR’AN ATAU HADIST YANG BERKAITAN DENGAN KOMUNIKASI

 

 

Dalam ajaran Islam, berbicara bukan hanya sekedar menyampaikan pesan, akan tetapi juga mencerminkan akhlak dan iman. Allah menggambarkan hal ini dengan sangat indah dalam Al-Qur’an melalui perumpamaan berikut :

🕋 Ayat : QS. Al-Isra (17) : 53

“ وَقُل لِّعِبَادِي يَقُولُوا ٱلَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ ٱلشَّيْطَٰنَ يَنزَغُ بَيْنَهُمْ ۚ إِنَّ ٱلشَّيْطَٰنَ كَانَ لِلْإِنسَٰنِ عَدُوّٗا مُّبِينٗا “

Yang artinya :

“Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku agar mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (ahsanu), karena sesungguhnya setan menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (QS. Al-Isra: 53)

Sebagai pelengkap dari arahan Al-Qur’an mengenai pentingnya berkomunikasi dengan penuh kebaikan, Rasulullah SAW juga menegaskan prinsip serupa dalam sabdanya. Hadis ini menegaskan bahwa iman yang sejati tercermin dari sikap hati-hati dalam berbicara, yakni memilih ucapan yang baik atau menahan diri untuk diam demi menjaga keharmonisan dan kedamaian.

Hadis : HR . Bukhari dan Muslim

مَن كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

Artinya:
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
(HR. Bukhari No. 6018, Muslim No. 47)

Dalam kehidupan bermasyarakat, cara kita berkomunikasi memegang peranan yang sangat penting. Mereka mampu membangun jembatan kepercayaan dan kasih sayang, atau sebaliknya, memicu konflik dan permusuhan. Islam sangat memahami hal ini, sehingga menempatkan komunikasi yang baik sebagai salah satu pilar penting dalam kehidupan umat manusia. (Al-Qurthubi, 2002).

Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk mengajarkan umat-Nya agar berkata dengan cara yang terbaik, yang dalam bahasa Arab disebut “التي هي أحسن” (yang paling baik) sebagaimana tertulis dalam firman-Nya: “Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku agar mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik…” (QS. Al-Isra’: 53). Perintah ini tidak hanya menekankan kebenaran, tetapi juga keindahan dan kelembutan dalam penyampaian kata-kata.

Imam Al-Qurthubi dalam Tafsir Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an menjelaskan bahwa perkataan yang baik mencegah konflik dan membuka jalan bagi rasa kasih sayang serta persaudaraan. Dengan berbicara secara santun dan penuh hikmah, setiap individu dapat menjaga hubungan tetap harmonis, walaupun berbeda pendapat atau menghadapi situasi sulit.

Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menambahkan bahwa kata-kata yang diucapkan seorang Muslim tidak boleh hanya benar, tetapi juga tepat dalam waktu, situasi, dan cara penyampaiannya. Bahkan dalam membantah sesuatu yang salah, harus tetap dengan perkataan yang sopan dan tidak menimbulkan permusuhan (Shihab, 2002).

Sebaliknya, komunikasi yang kasar, tergesa-gesa, atau mengandung hinaan justru menjadi pintu masuk setan untuk menghasut dan memecah belah hubungan antar sesama. Ketika kata-kata yang keluar dari lisan kita tajam dan tidak terkontrol, maka potensi konflik semakin besar dan hubungan persaudaraan, baik dalam keluarga maupun lingkungan kerja, menjadi retak. Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim menegaskan bahwa ayat ini merupakan peringatan langsung kepada orang beriman agar tidak terpancing emosi dalam berbicara, karena setan mengambil peran besar dalam memperuncing perbedaan (Ibnu Katsir, 2000).

Hikmah yang terkandung dalam Ayat ini adalah menjaga ucapan, menunjukkan bahwa lisan adalah amanah besar yang wajib dijaga. ucapan yang tidak dijaga akan membuka jalan bagi setan untuk mengadu domba. Dengan berkata yang terbaik (ahsanu), seseorang akan terdorong untuk mengendalikan emosinya, memikirkan efek dari ucapannya, dan melatih rendah hati. Ini adalah bagian dari membentuk akhlak mulia dalam Islam.

Tidak semua kritik harus dibalas dengan perlawanan. Kadang, cukup dengan kata-kata yang tenang, hati yang panas bisa menjadi dingin. Contoh sederhana terjadi di media sosial :

Seorang teman di medsos menanggapi kritik dengan sabar : “Terima kasih masukannya. Saya coba perbaiki ke depan, semoga sama-sama belajar ya 😊.” Alih-alih emosi, jawaban ini bikin suasana jadi tenang. Bahkan yang tadinya memaki, akhirnya minta maaf. Inilah makna “ucapan yang terbaik” dalam ayat ini bukan sekadar balasan, tapi pencegah konflik.

Dalam konteks perkuliahan, mahasiswa yang terbiasa berdiskusi dengan sopan, meski berbeda pendapat, akan lebih disukai dan dihargai. Mereka bisa menjaga hubungan baik dengan dosen, rekan tim, hingga organisasi kampus. Komunikasi yang ahsan juga melatih kesabaran, kedewasaan berpikir, dan kedewasaan emosional.

Di sisi lain, sikap reaktif, sindiran di grup diskusi, atau balasan pedas di media sosial hanya membuka jalan bagi konflik, fitnah, bahkan permusuhan jangka panjang. Inilah yang dikhawatirkan Allah dalam ayat ini setan menanam benih perpecahan melalui ucapan manusia.

 

📑 Referensi Jurnal Ilmiah

Al-Qurthubi, M. A. (2006). Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Tafsir al-Qurthubi), Juz 10. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Ibnu Katsir, I. (2000). Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim (Tafsir Ibnu Katsir), Juz 5. Riyadh: Darussalam.

Shihab, M. Q. (2002). Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jilid 6. Jakarta: Lentera Hati.

Wekke, I. S. (2022). Etika komunikasi dalam perspektif Al-Qur’an. Jurnal Komunikasi dan Dakwah, 23(1), 45–58.

Fitriana, L. (2021). Peran ayat-ayat Al-Qur’an dalam membangun etika komunikasi Muslim. Jurnal Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Kalijaga, 5(2), 33–47.

Mufidah, N. (2020). Konsep kalimat thayyibah dalam komunikasi Islam. Jurnal Al-Balagh: Komunikasi dan Penyiaran Islam, 5(2), 112–125.

Al-Ghazali, A. H. (2005). Ihya’ Ulumuddin (Juz III). Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Qaradawi, Y. (1999). Etika Berkomunikasi dalam Islam. Kairo: Maktabah Wahbah.

Rakhmat, J. (2007). Psikologi Komunikasi (Edisi Revisi). Bandung: Remaja Rosdakary

 

 

🖋️ Profil Penulis

Dhea Cahya Cyntia adalah mahasiswa dengan Program Studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyyah, Institut Agama Islam Tafaqquh Fiddin Dumai. Sebagai generasi muda yang tumbuh di tengah arus informasi digital, Dhea percaya bahwa literasi keislaman dan komunikasi santun sangat penting untuk dijaga, terutama di kalangan pelajar dan mahasiswa. Melalui blog ini harapannya bisa menjadi sumber inspirasi dan ilmu bagi pembaca dari berbagai kalangan, khususnya sesama pelajar dan mahasiswa. 

"Ilmu bukan hanya untuk diketahui, tetapi untuk diamalkan dan dibagikan. Semangat belajar hari ini adalah investasi keberkahan di masa depan."

Karya ini merupakan bagian dari kontribusi untuk menyuarakan pentingnya etika komunikasi Islami yang berlandaskan Al-Qur’an.

Rabu, 07 Mei 2025

kOMUNIKASI MEMBENTUK JATI DIRI BANGSA

Komunikasi dalam Pendidikan Karakter dan Pembentukan Jati Diri Bangsa


    Komunikasi memiliki peran yang sangat penting dalam pendidikan karakter dan pembentukan jati diri bangsa. Sebagai proses yang tidak hanya berfungsi untuk menyampaikan informasi, komunikasi juga berperan dalam membangun nilai-nilai moral, etika, serta identitas sosial dalam masyarakat. Dalam konteks pendidikan, komunikasi yang efektif mampu menciptakan lingkungan pembelajaran yang kondusif, memperkuat nilai-nilai luhur, dan membentuk generasi muda yang memiliki jati diri yang kuat.

    Komunikasi bukan sekadar pertukaran kata atau pesan, tetapi juga proses interaksi yang membentuk pola pikir, sikap, dan perilaku individu maupun kelompok. Dalam pendidikan karakter, komunikasi menjadi sarana utama bagi pendidik dalam menanamkan nilai-nilai positif kepada peserta didik. Sebagai contoh, di lingkungan sekolah atau kampus, komunikasi antara guru atau dosen dengan siswa sangat memengaruhi cara peserta didik memahami konsep moral dan etika. Seorang guru yang tidak hanya mengajar tetapi juga berkomunikasi dengan baik, seperti menggunakan pendekatan dialogis yang menghargai pendapat siswa, mampu membangun rasa percaya diri dan kepedulian terhadap sesama. Dengan demikian, komunikasi berperan sebagai media yang membentuk kepribadian dan karakter peserta didik sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan.

    Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, komunikasi yang baik harus mencerminkan nilai-nilai luhur seperti adab, sopan santun, penghormatan terhadap orang tua dan guru, serta kebhinekaan dalam bingkai NKRI. 

    Pertama, komunikasi yang berlandaskan adab dan sopan santun mencerminkan budaya bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai kesantunan. Dalam praktik pendidikan, komunikasi yang sopan dapat terlihat dalam interaksi antara dosen dan mahasiswa, di mana mahasiswa diajarkan untuk menyampaikan pendapat dengan cara yang baik, serta menghormati pandangan orang lain.

    Kedua, penghormatan terhadap orang tua dan guru merupakan elemen penting dalam pendidikan karakter. Dalam komunikasi, penghormatan ini tidak hanya terlihat dalam penggunaan bahasa yang baik, tetapi juga dalam sikap saat berinteraksi dengan orang yang lebih tua. Misalnya, dalam tradisi pesantren, santri diajarkan untuk berbicara dengan lemah lembut kepada kyai dan ustaz, serta mendengarkan nasihat mereka dengan penuh perhatian.

    Ketiga, komunikasi yang mencerminkan kebhinekaan menjadi kunci dalam menjaga persatuan di tengah keberagaman budaya, agama, dan etnis di Indonesia. Dalam kehidupan kampus, interaksi antar mahasiswa dari berbagai latar belakang budaya dapat menjadi wahana untuk memperkuat nilai toleransi dan saling menghormati. Komunikasi yang inklusif memungkinkan terciptanya dialog yang sehat, sehingga perbedaan menjadi kekuatan, bukan sumber konflik.

    Generasi muda saat ini menghadapi tantangan besar dalam menjaga identitas dan karakter mereka di tengah arus globalisasi dan perkembangan teknologi komunikasi. Digitalisasi telah mengubah cara manusia berkomunikasi, memungkinkan interaksi tanpa batas melalui media sosial dan platform digital. Namun, di balik kemajuan ini, terdapat risiko terhadap karakter dan identitas bangsa jika komunikasi tidak digunakan dengan bijak. Penggunaan media sosial yang tidak terkendali, misalnya, dapat menyebabkan penyebaran informasi yang tidak benar, ujaran kebencian, dan konflik antar kelompok. Oleh karena itu, penting bagi generasi muda untuk memahami konsep komunikasi yang beretika dan bertanggung jawab.

    Di dunia pendidikan, penguatan komunikasi berbasis nilai-nilai karakter dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan, seperti pembelajaran berbasis diskusi, edukasi literasi digital, serta pelatihan komunikasi yang mengedepankan etika. Sebagai contoh, banyak sekolah dan universitas telah mengintegrasikan program pembelajaran yang mengajarkan keterampilan komunikasi berbasis nilai, termasuk bagaimana menyampaikan pendapat secara sopan, membangun argumentasi dengan baik, serta menghormati perbedaan pandangan.

    Komunikasi tidak hanya berfungsi sebagai alat pembelajaran, tetapi juga sebagai media yang mampu membawa perubahan sosial. Dalam konteks pendidikan, komunikasi dapat digunakan untuk memperkuat nilai kebangsaan dan membentuk generasi yang memiliki jati diri nasional yang kuat. Sebagai contoh, banyak institusi pendidikan telah mengembangkan program yang mendorong komunikasi yang berorientasi pada penguatan karakter bangsa, seperti forum diskusi kebangsaan, seminar tentang nilai-nilai nasionalisme, serta kegiatan sosial yang memperkuat solidaritas antar sesama. Melalui komunikasi yang berbasis nilai, pendidikan dapat menjadi alat utama dalam membangun bangsa yang memiliki integritas, kesantunan, dan komitmen terhadap persatuan dan kesatuan nasional.

    Komunikasi memiliki peran sentral dalam pendidikan karakter dan pembentukan jati diri bangsa. Melalui komunikasi yang efektif, nilai-nilai luhur seperti adab, sopan santun, penghormatan terhadap orang tua dan guru, serta kebhinekaan dapat terus dijaga dan diperkuat. Bagi generasi muda, pemahaman tentang komunikasi yang beretika sangat penting agar mereka mampu menjaga identitas nasional di tengah arus globalisasi dan digitalisasi. Oleh karena itu, pendidikan komunikasi yang berlandaskan karakter harus menjadi prioritas bagi lembaga pendidikan untuk memastikan bahwa bangsa Indonesia tetap kokoh dan berdaya saing di era modern.

Daftar Pustaka 

  • Burleson, B. R. (2010). The nature of interpersonal communication: A message-centered approach. Routledge.

  • McQuail, D. (2010). McQuail's Mass Communication Theory (6th ed.). Sage Publications.

  • Wood, J. T. (2016). Communication in Our Lives (8th ed.). Cengage Learning.

  • Rahardjo, M. (2018). Komunikasi dan Pendidikan Karakter dalam Masyarakat Multikultural. Rajawali Pers.

  • West, R., & Turner, L. H. (2018). Introducing Communication Theory: Analysis and Application (6th ed.). McGraw-Hill.

  • Hofstede, G. (2011). Culture's Consequences: Comparing Values, Behaviors, Institutions, and Organizations Across Nations (2nd ed.). Sage Publications.


Profi Penulis

 Dhea Cahya Cyntia, lahir di Dumai pada 17 Juli 2005, merupakan mahasiswa Program Studi Pendidikan Agama Islam yang bercita-cita menjadi pendidik yang berkontribusi bagi masyarakat. Ia adalah alumni Pondok Pesantren Bidayatul Hidayah Rohil, tempat di mana ia memperoleh landasan keilmuan dan nilai-nilai keislaman yang kuat. Selama masa kuliah, Dhea berharap dapat semakin mendalami ilmu agama, memperluas wawasan dalam pendidikan Islam, serta aktif berkontribusi dalam berbagai kegiatan akademik dan sosial di kampus. Dengan semangat dan dedikasi, ia bercita-cita menjadi sosok yang mampu menginspirasi dan membimbing generasi muda dalam memahami serta mengamalkan nilai-nilai Islam.


ILMU KOMUNIKASI

 

Komunikasi sebagai Proses Dinamis, Sistematik, dan Simbolik dalam Membangun Makna

  Komunikasi adalah aspek fundamental dalam kehidupan manusia yang tidak hanya berfungsi sebagai sarana penyampaian pesan, tetapi juga sebagai proses pembentukan makna dalam interaksi sosial. Dalam dunia yang terus berkembang, komunikasi menjadi semakin kompleks karena dipengaruhi oleh perkembangan teknologi, perubahan sosial, dan perbedaan budaya. Komunikasi tidak hanya berlangsung secara langsung, tetapi juga melalui media digital yang semakin mempercepat penyebaran informasi dan membentuk dinamika baru dalam interaksi manusia.

    Komunikasi selalu berkembang mengikuti perubahan zaman. Dalam kehidupan sehari-hari, kita berkomunikasi dengan berbagai cara, mulai dari percakapan tatap muka hingga interaksi melalui media sosial. Misalnya, dahulu komunikasi hanya terbatas pada pertemuan langsung atau surat, tetapi sekarang kita dapat berkomunikasi secara instan melalui pesan teks, video call, dan media sosial. Perubahan ini tidak hanya memengaruhi cara kita berkomunikasi, tetapi juga makna yang dibangun dalam komunikasi. Dalam percakapan langsung, ekspresi wajah dan nada suara memiliki peran penting dalam memahami pesan yang disampaikan. Namun, dalam komunikasi melalui media sosial, penggunaan emoji dan GIF menjadi alat bantu untuk menyampaikan emosi dan memperjelas maksud pesan. Contohnya, penggunaan emoji senyum 😊 dalam pesan teks dapat menggantikan ekspresi wajah yang menunjukkan keramahan dalam percakapan langsung.

    Komunikasi bukan sekadar pertukaran kata-kata, tetapi juga melibatkan berbagai elemen yang saling berhubungan, seperti pengirim pesan, penerima, saluran komunikasi, dan konteks sosial. Semua elemen ini harus bekerja secara harmonis agar komunikasi menjadi efektif. Jika satu elemen terganggu, maka makna pesan bisa salah dimengerti atau bahkan gagal diterima. Sebagai contoh, dalam lingkungan kampus, komunikasi antara dosen dan mahasiswa sangat bergantung pada sistem yang efektif. Dosen harus menyampaikan materi dengan jelas, menggunakan bahasa yang mudah dipahami, dan memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk bertanya. Jika dosen tidak memperhatikan cara penyampaian atau mahasiswa kurang aktif dalam berdiskusi, komunikasi menjadi tidak efektif, dan proses belajar-mengajar pun terganggu. Dalam kehidupan sosial, keterkaitan antara komunikasi verbal dan nonverbal juga memainkan peran besar. Misalnya, dalam sebuah rapat organisasi, bahasa tubuh seperti anggukan kepala atau kontak mata dapat memperkuat makna pesan yang disampaikan. Sebaliknya, kurangnya respons nonverbal dapat membuat lawan bicara merasa kurang diperhatikan, meskipun komunikasi verbal sudah dilakukan dengan baik.

    Simbol dalam komunikasi bisa berbentuk verbal maupun nonverbal, dan memiliki peran krusial dalam membangun makna antarindividu atau kelompok. Simbol verbal meliputi kata-kata, frasa, dan kalimat, sedangkan simbol nonverbal mencakup ekspresi wajah, gerakan tangan, pakaian, dan bahkan warna tertentu yang memiliki makna tersendiri dalam budaya tertentu. Dalam interaksi profesional, simbol nonverbal sering kali lebih berdampak daripada komunikasi verbal. Misalnya, dalam dunia bisnis, penggunaan pakaian formal melambangkan profesionalisme dan kredibilitas. Ketika seseorang datang ke sebuah pertemuan dengan pakaian yang rapi dan sikap percaya diri, kesan yang ditangkap oleh orang lain biasanya lebih positif dibandingkan seseorang yang berpakaian kurang formal. Di dunia digital, simbol juga memainkan peran besar dalam komunikasi. Contoh yang sering terjadi adalah penggunaan ikon "like" atau "love" di media sosial untuk menunjukkan persetujuan atau dukungan terhadap suatu postingan. Hal ini menunjukkan bagaimana simbol digital membantu memperjelas makna dan meningkatkan efektivitas komunikasi di dunia maya.

    Komunikasi adalah proses yang dinamis, sistematik, dan simbolik yang berkembang seiring dengan perubahan zaman. Perkembangan teknologi telah mengubah cara manusia berkomunikasi, sementara keterkaitan berbagai elemen komunikasi menentukan efektivitas interaksi sosial. Simbol, baik verbal maupun nonverbal, memainkan peran penting dalam membentuk makna dalam komunikasi, memungkinkan manusia untuk memahami pesan dengan lebih mendalam. Oleh karena itu, memahami konsep komunikasi dalam konteks modern sangat penting bagi siapa pun yang ingin berkomunikasi secara efektif, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun di lingkungan profesional. 

 

Daftar Pustaka

Berger, C. R. (2018). Interpersonal Communication. Wiley-Blackwell.

McQuail, D. (2010). McQuail's Mass Communication Theory (6th ed.). Sage Publications.

Knapp, M. L., Hall, J. A., & Horgan, T. G. (2013). Nonverbal Communication in Human Interaction (8th ed.). Cengage Learning.

West, R., & Turner, L. H. (2018). Introducing Communication Theory: Analysis and Application (6th ed.). McGraw-Hill.

Wood, J. T. (2016). Communication in Our Lives (8th ed.). Cengage Learning.

 

Profi Penulis


 Dhea Cahya Cyntia, lahir di Dumai pada 17 Juli 2005, merupakan mahasiswa Program Studi Pendidikan Agama Islam yang bercita-cita menjadi pendidik yang berkontribusi bagi masyarakat. Dhea merupakan alumni Pondok Pesantren Bidayatul Hidayah Rohil, tempat di mana ia memperoleh landasan keilmuan dan nilai-nilai keislaman yang kuat. Selama masa kuliah, Dhea berharap dapat semakin mendalami ilmu agama, memperluas wawasan dalam pendidikan Islam, serta aktif berkontribusi dalam berbagai kegiatan akademik dan sosial di kampus. Dengan semangat dan dedikasi, ia bercita-cita menjadi sosok yang mampu menginspirasi dan membimbing generasi muda dalam memahami serta mengamalkan nilai-nilai Islam.

 

Minggu, 02 Maret 2025

PRINSIP-PRINSIP KOMUNIKASI

 

BAB IV

PRINSIP – PRINSIP KOMUNIKASI

PENDAHULUAN

Komunikasi adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan antara dua pihak atau lebih untuk mencapai pemahaman bersama. Dalam dunia yang terus berkembang, kemampuan untuk berkomunikasi dengan efektif menjadi sangat penting, baik dalam kehidupan pribadi, sosial, maupun profesional. Komunikasi yang efektif tidak hanya mengandalkan pengiriman pesan, tetapi juga mencakup pemahaman, interpretasi, dan respons dari penerima pesan. Oleh karena itu, penting untuk memahami prinsip-prinsip dasar komunikasi agar dapat menyampaikan pesan secara jelas dan menghindari terjadinya distorsi informasi.

Prinsip-prinsip komunikasi berfungsi sebagai panduan yang membantu individu atau kelompok dalam menyampaikan pesan dengan cara yang lebih efisien dan efektif. Beberapa prinsip utama yang sering dibahas dalam teori komunikasi antara lain adalah kejelasan (clarity), konsistensi (consistency), keterbukaan (openness), empati (empathy), serta feedback (umpan balik). Setiap prinsip memiliki peran penting dalam memastikan pesan yang disampaikan dipahami dengan baik oleh penerima dan dapat membangun hubungan yang lebih kuat antar pihak yang terlibat.

Salah satu prinsip yang paling mendasar adalah kejelasan (clarity). Kejelasan merujuk pada kemampuan pengirim pesan untuk menyampaikan informasi dengan cara yang mudah dimengerti oleh penerima pesan. Menurut Berlo (1960), kejelasan dalam komunikasi dapat dicapai dengan menggunakan kata-kata yang sederhana, menghindari istilah yang ambigu, serta mengorganisasi informasi dengan cara yang terstruktur. Kejelasan sangat penting terutama dalam komunikasi bisnis dan organisasi, di mana informasi yang tidak jelas dapat menyebabkan kebingunguan dan menghambat pengambilan keputusan yang tepat.

Selain itu, prinsip konsistensi juga memegang peranan penting dalam komunikasi. Grice (1975) mengemukakan bahwa komunikasi yang efektif memerlukan konsistensi antara apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan oleh pengirim pesan. Ketidakselarasan antara kata-kata dan tindakan bisa merusak kepercayaan dan menciptakan ketidakpastian di kalangan penerima pesan. Konsistensi juga mencakup kesesuaian pesan yang disampaikan dalam berbagai saluran komunikasi, baik verbal maupun non-verbal. Dalam konteks organisasi, konsistensi ini berperan dalam menciptakan citra dan reputasi yang solid.

Keterbukaan (openness) adalah prinsip komunikasi lain yang tidak kalah pentingnya. Prinsip ini mendorong transparansi dan kejujuran dalam komunikasi, sehingga penerima pesan merasa dihargai dan lebih percaya pada informasi yang diberikan. Schramm (1971) berpendapat bahwa keterbukaan dalam komunikasi memungkinkan pertukaran informasi yang lebih jujur dan dapat memperkuat hubungan antar individu. Dalam organisasi, keterbukaan ini mendukung penciptaan lingkungan kerja yang sehat dan kolaboratif, di mana informasi disampaikan dengan jelas dan tanpa adanya penutupan atau penyembunyian fakta.

Prinsip empati juga memegang peranan penting dalam komunikasi yang efektif. Empati mengacu pada kemampuan untuk memahami perasaan dan sudut pandang orang lain, yang memungkinkan pengirim pesan untuk menyampaikan pesan dengan cara yang lebih sensitif dan sesuai dengan keadaan emosional penerima. Argyle (1975) menyatakan bahwa komunikasi yang empatik mampu membangun hubungan interpersonal yang lebih baik dan menciptakan suasana yang lebih terbuka. Dalam dunia profesional, empati sangat penting dalam membangun kepercayaan antara rekan kerja, manajer, dan anggota tim.

PENGERTIAN KOMUNIKASI

            Komunikasi merupakan proses yang penting dalam kehidupan manusia, di mana individu atau kelompok mengirimkan dan menerima informasi untuk menciptakan pemahaman bersama. Secara umum, komunikasi dapat diartikan sebagai sebuah pertukaran pesan melalui berbagai saluran, baik verbal maupun non-verbal, yang bertujuan untuk membangun hubungan dan menyampaikan informasi. Berlo (1960) dalam bukunya The Process of Communication mendefinisikan komunikasi sebagai sebuah proses di mana informasi, ide, atau pesan dipertukarkan antara pengirim dan penerima dengan melalui media tertentu. Dalam konteks ini, pengiriman dan penerimaan pesan yang tepat sangat penting untuk memastikan bahwa informasi dapat dipahami dengan benar.

Menurut Grice (1975), komunikasi juga tidak hanya melibatkan pengiriman pesan, tetapi juga bagaimana pesan tersebut dipahami oleh penerima. Hal ini menjelaskan bahwa komunikasi lebih dari sekadar menyampaikan informasi; ia juga mencakup interaksi sosial, di mana kedua pihak terlibat dalam pemahaman bersama. Oleh karena itu, komunikasi tidak hanya terbatas pada kata-kata yang digunakan, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti konteks, hubungan antara individu, dan latar belakang budaya yang dapat mempengaruhi cara pesan diterima dan dipahami.

Komunikasi juga mencakup berbagai bentuk, mulai dari komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok, hingga komunikasi massa. Schramm (1971) menekankan bahwa komunikasi adalah proses yang dinamis dan berlangsung terus-menerus, serta sangat dipengaruhi oleh konteks sosial dan budaya. Proses komunikasi ini melibatkan saluran atau media yang digunakan untuk menyampaikan pesan, serta adanya feedback atau umpan balik yang mengindikasikan apakah pesan yang disampaikan telah dipahami dengan baik atau tidak. Dalam komunikasi organisasi, feedback sangat penting untuk memastikan adanya perbaikan dalam alur komunikasi.

Secara umum, komunikasi bertujuan untuk menciptakan pemahaman yang lebih baik antar individu dan kelompok. Hal ini dapat dilihat dalam berbagai aspek kehidupan, baik itu dalam hubungan pribadi, organisasi, pendidikan, hingga komunikasi bisnis. Tanpa adanya komunikasi yang efektif, tujuan yang ingin dicapai bisa saja tidak tercapai, dan dapat terjadi kesalahpahaman yang merugikan pihak-pihak yang terlibat.

PRINSIP-PRINSIP KOMUNIKASI

Prinsip Kejelasan (Clarity) dalam komunikasi merujuk pada kemampuan pengirim pesan untuk menyampaikan informasi dengan cara yang mudah dimengerti oleh penerima. Kejelasan sangat penting untuk memastikan bahwa pesan yang disampaikan tidak menyebabkan kebingunguan atau kesalahpahaman. Dalam konteks ini, pengirim pesan perlu menggunakan bahasa yang sederhana, terstruktur, dan sesuai dengan kemampuan serta pemahaman penerima. Berlo (1960) dalam bukunya The Process of Communication menyatakan bahwa untuk mencapai komunikasi yang efektif, pengirim pesan harus menghindari penggunaan istilah yang ambigu atau teknis yang mungkin tidak dipahami oleh penerima. Penyampaian pesan dengan jelas akan mengurangi distorsi informasi yang sering terjadi dalam proses komunikasi.

Grice (1975) menekankan pentingnya prinsip relevansi dan kesesuaian pesan dalam komunikasi, yang berkaitan erat dengan kejelasan. Pengirim pesan harus memastikan bahwa apa yang disampaikan relevan dengan konteks komunikasi dan mudah dipahami oleh penerima. Dalam hal ini, pesan yang jelas adalah pesan yang langsung, tidak bertele-tele, dan mudah dipahami tanpa membutuhkan interpretasi yang kompleks. Grice menambahkan bahwa dalam percakapan, kejelasan membantu menjaga agar percakapan tetap mengalir dan tidak menyebabkan kebingunguan antar pihak yang terlibat.

Kejelasan juga berkaitan erat dengan struktur pesan. Berlo (1960) menjelaskan bahwa pesan yang disampaikan dengan jelas harus memiliki struktur yang terorganisir dengan baik. Penggunaan kalimat yang terstruktur dan mudah diikuti akan membantu penerima memahami pesan tanpa harus menebak-nebak maknanya. Pesan yang terorganisir dengan baik biasanya dimulai dengan pengenalan masalah atau topik, diikuti dengan informasi utama, dan ditutup dengan kesimpulan atau solusi yang jelas.

Selain itu, pemilihan kata yang tepat juga mempengaruhi tingkat kejelasan pesan. Argyle (1975) berpendapat bahwa bahasa tubuh dan ekspresi wajah yang tepat juga dapat mendukung penyampaian pesan yang jelas, terutama dalam komunikasi non-verbal. Misalnya, ketika seseorang berbicara dengan ekspresi wajah yang sesuai dengan pesan verbal yang disampaikan, penerima pesan akan lebih mudah memahami niat dan makna yang dimaksud. Oleh karena itu, kejelasan tidak hanya bergantung pada kata-kata yang digunakan, tetapi juga pada cara pesan tersebut disampaikan melalui saluran verbal dan non-verbal.

Prinsip kejelasan ini sangat penting dalam komunikasi profesional, seperti dalam dunia bisnis atau organisasi, di mana keputusan sering kali bergantung pada informasi yang jelas dan akurat. Yukl (2006) dalam bukunya Leadership in Organizations menyatakan bahwa dalam konteks organisasi, kejelasan dalam komunikasi dapat mengurangi kebingunguan dan mempercepat proses pengambilan keputusan. Informasi yang jelas dan langsung memungkinkan anggota tim untuk memahami tugas dan tanggung jawab mereka dengan lebih baik, yang pada gilirannya meningkatkan kinerja dan efisiensi organisasi.

Dalam komunikasi tertulis, prinsip kejelasan juga memainkan peran yang sangat besar. Misalnya, dalam menulis laporan atau email bisnis, pengirim harus memastikan bahwa pesan yang disampaikan singkat, padat, dan mudah dipahami oleh penerima. Menurut Guffey dan Loewy (2010), komunikasi tertulis yang jelas dapat menghindari adanya interpretasi yang salah dan mempercepat proses komunikasi di dalam organisasi. Kejelasan dalam komunikasi tertulis juga mempermudah penerima untuk mengambil tindakan berdasarkan informasi yang diterima.

Prinsip kejelasan dalam komunikasi juga membantu mengurangi potensi konflik yang bisa muncul akibat kesalahpahaman. Schramm (1971) menjelaskan bahwa ketidakjelasan dalam komunikasi dapat memicu kebingunguan yang akhirnya menghasilkan kesalahpahaman dan konflik. Dengan menjaga agar pesan tetap jelas, komunikasi antar individu atau kelompok menjadi lebih lancar dan mengurangi potensi terjadinya konflik yang disebabkan oleh distorsi informasi.

Secara keseluruhan, prinsip kejelasan (clarity) adalah kunci dalam memastikan komunikasi yang efektif. Tanpa kejelasan, informasi yang disampaikan akan menjadi kabur dan sulit dipahami, yang pada akhirnya dapat merusak hubungan antar individu atau kelompok. Oleh karena itu, sangat penting bagi pengirim pesan untuk memastikan bahwa pesan yang disampaikan mudah dipahami oleh penerima, baik itu dalam bentuk verbal, tulisan, maupun komunikasi non-verbal.

Contoh dalam Prinsip Kejelasan (Clarity)

1.       Seorang manajer mengirimkan email kepada timnya dengan instruksi yang sangat jelas dan terstruktur. Di dalam email tersebut, ia menggunakan bahasa yang sederhana, tanpa jargon, dan menghindari kalimat yang rumit. Misalnya, alih-alih menulis “Harap perhatikan segala hal yang berkaitan dengan administrasi yang diperlukan”, ia menulis “Silakan lengkapi formulir administrasi yang terlampir dan kirimkan kembali ke saya sebelum hari Jumat.”

2.       Seorang guru memberikan instruksi yang jelas tentang tugas yang harus dikerjakan oleh muridnya. Misalnya, "Buatlah laporan mengenai topik X, dan pastikan untuk memasukkan 3 poin utama dalam laporan tersebut: (1) definisi, (2) analisis, dan (3) kesimpulan."

3.       Dalam rapat perusahaan, CEO menjelaskan tujuan dan strategi perusahaan dengan sangat jelas. Ia menggunakan grafik dan presentasi untuk menggambarkan angka dan tujuan yang ingin dicapai, serta memberikan waktu untuk pertanyaan agar semua pihak yang terlibat dapat memahami apa yang dimaksud.

 

Prinsip Umpan Balik (Feedback) dalam komunikasi merujuk pada respons atau reaksi yang diberikan oleh penerima pesan terhadap informasi atau pesan yang diterima dari pengirim. Umpan balik ini berfungsi untuk memberi tahu pengirim apakah pesan yang disampaikan telah diterima dan dipahami dengan benar atau tidak. Menurut Schramm (1971), umpan balik adalah elemen yang sangat penting dalam proses komunikasi karena dapat mengonfirmasi apakah pengirim dan penerima pesan berada pada pemahaman yang sama. Tanpa adanya umpan balik, proses komunikasi menjadi tidak lengkap karena pengirim tidak dapat mengetahui apakah pesan yang disampaikan telah dipahami dengan benar atau memerlukan klarifikasi lebih lanjut.

Umpan balik dalam komunikasi tidak hanya berbentuk verbal, tetapi juga dapat berupa reaksi non-verbal seperti ekspresi wajah, bahasa tubuh, atau isyarat fisik lainnya. Argyle (1975) mengungkapkan bahwa komunikasi non-verbal sering kali memainkan peran yang sangat besar dalam memberikan umpan balik yang lebih jelas dan langsung. Misalnya, ketika seseorang menganggukkan kepala atau tersenyum, itu bisa dianggap sebagai umpan balik positif terhadap pesan yang disampaikan, menunjukkan pemahaman dan penerimaan terhadap informasi yang diberikan. Oleh karena itu, umpan balik dalam komunikasi tidak terbatas pada kata-kata yang diucapkan, tetapi juga mencakup seluruh bentuk komunikasi non-verbal yang dapat membantu pengirim memahami reaksi penerima.

Prinsip umpan balik juga berhubungan dengan proses interaksi yang bersifat dua arah, di mana pengirim dan penerima pesan saling berperan aktif dalam menciptakan komunikasi yang efektif. Grice (1975) dalam teori percakapannya menekankan bahwa umpan balik adalah bagian integral dari percakapan yang sukses. Tanpa umpan balik, percakapan menjadi satu arah, dan penerima pesan tidak dapat memberikan klarifikasi atau pertanyaan atas pesan yang diterima. Umpan balik yang diberikan oleh penerima dapat membantu pengirim mengetahui apakah pesan tersebut memerlukan penjelasan lebih lanjut atau jika ada kesalahpahaman yang perlu diperbaiki.

Dalam konteks organisasi, umpan balik sangat penting dalam memastikan komunikasi yang efektif dan peningkatan kinerja. Yukl (2006) dalam bukunya Leadership in Organizations menyatakan bahwa pemimpin yang efektif harus memberikan umpan balik yang konstruktif kepada bawahannya untuk mendorong perbaikan dan pengembangan. Selain itu, pemimpin juga perlu menerima umpan balik dari anggota tim untuk mengetahui area yang perlu ditingkatkan dalam gaya kepemimpinan mereka. Umpan balik yang tepat waktu dan jujur dapat membantu memperbaiki hubungan kerja dan meningkatkan produktivitas tim.

Di sisi lain, umpan balik juga dapat digunakan sebagai alat untuk memotivasi dan memperbaiki kinerja individu dalam organisasi. Menurut Guffey dan Loewy (2010), umpan balik yang diberikan dengan cara yang positif dan membangun dapat meningkatkan rasa percaya diri dan motivasi karyawan untuk bekerja lebih baik. Dalam komunikasi organisasi, penting bagi pengirim untuk memberikan umpan balik yang spesifik, jelas, dan konstruktif agar penerima dapat memahami apa yang perlu diperbaiki dan bagaimana cara untuk meningkatkan kinerjanya. Hal ini sangat mendukung proses pengambilan keputusan yang lebih baik dan pengembangan individu di tempat kerja.

Prinsip umpan balik juga mencakup dua jenis utama, yaitu umpan balik positif dan umpan balik negatif. Umpan balik positif mengarah pada penguatan perilaku yang diinginkan, sedangkan umpan balik negatif bertujuan untuk memperbaiki atau mengubah perilaku yang kurang tepat. Namun, kedua jenis umpan balik ini perlu disampaikan dengan cara yang tidak merusak hubungan antar individu. Menurut Berlo (1960), umpan balik yang disampaikan dengan cara yang empatik dan tidak menghakimi dapat mendorong perubahan perilaku yang lebih baik tanpa menurunkan motivasi individu.

Secara keseluruhan, prinsip umpan balik adalah komponen penting dalam menciptakan komunikasi yang efektif. Umpan balik membantu memperbaiki dan meningkatkan proses komunikasi dengan memastikan bahwa pesan yang disampaikan dapat diterima dan dipahami dengan benar oleh penerima. Umpan balik yang konstruktif memungkinkan kedua pihak dalam komunikasi untuk terus belajar dan berkembang, baik dalam konteks pribadi maupun profesional.

Contoh dalam Prinsip Umpan Balik (Feedback)

1.     Seorang manajer memberikan umpan balik kepada karyawannya setelah menyelesaikan presentasi. Umpan balik positif yang diberikan adalah, "Presentasi Anda sangat jelas dan terstruktur dengan baik, tetapi saya rasa Anda bisa menambahkan data lebih banyak di bagian analisis untuk membuat argumen lebih kuat." Umpan balik ini membangun rasa percaya diri karyawan dan memberikan arahan untuk perbaikan.

2.     Seorang pelatih olahraga memberikan umpan balik kepada atlet setelah pertandingan. "Kamu melakukan teknik yang bagus pada servis pertama, tetapi kamu perlu berlatih untuk lebih konsisten dengan servis kedua agar lebih sulit diprediksi oleh lawan." Umpan balik ini tidak hanya memberikan penghargaan atas keberhasilan, tetapi juga mengarah pada perbaikan.

3.     Dalam sebuah sesi pelatihan, peserta memberikan umpan balik tentang materi yang disampaikan, mengatakan bahwa ia merasa sulit memahami bagian tertentu. Pelatih kemudian memberikan penjelasan ulang dengan cara yang lebih sederhana, menggunakan contoh yang lebih mudah dipahami.

Prinsip Kontekstual dan Etika Komunikasi

Prinsip kontekstual dalam komunikasi mengacu pada pemahaman bahwa pesan yang disampaikan harus sesuai dengan situasi, waktu, tempat, dan kondisi yang ada di sekitar komunikasi tersebut berlangsung. Konteks komunikasi memainkan peran penting dalam bagaimana pesan diterima dan dipahami. Menurut Schramm (1971), komunikasi tidak hanya melibatkan pengirim dan penerima pesan, tetapi juga dipengaruhi oleh konteks yang melingkupi proses komunikasi tersebut. Ini termasuk faktor sosial, budaya, fisik, dan emosional yang dapat mempengaruhi cara pesan diterima. Oleh karena itu, pengirim pesan harus mempertimbangkan konteks ini saat merumuskan pesan agar pesan tersebut dapat diterima dan dipahami dengan tepat.

 

Konteks juga mempengaruhi cara orang menyampaikan pesan, serta media atau saluran yang digunakan untuk berkomunikasi. Grice (1975) menjelaskan bahwa dalam percakapan, relevansi dan kesesuaian pesan sangat dipengaruhi oleh konteks. Pengirim pesan harus menyesuaikan cara penyampaian pesan dengan situasi yang ada. Misalnya, pesan yang disampaikan dalam konteks formal seperti rapat bisnis akan berbeda dengan pesan yang disampaikan dalam konteks informal seperti percakapan santai antara teman. Menyesuaikan pesan dengan konteks adalah kunci untuk menjaga komunikasi tetap efektif dan menghindari kesalahpahaman.

 

Selain itu, Argyle (1975) berpendapat bahwa dalam komunikasi non-verbal, konteks sangat mempengaruhi makna yang diberikan pada ekspresi wajah, gerak tubuh, dan kontak mata. Sebagai contoh, dalam beberapa budaya, kontak mata yang langsung bisa dianggap sopan dan penuh perhatian, sedangkan di budaya lain, itu bisa dianggap sebagai bentuk tantangan atau ketidaksopanan. Oleh karena itu, pemahaman terhadap konteks sosial dan budaya sangat penting untuk memastikan pesan non-verbal diterima dengan benar. Dalam komunikasi antarbudaya, memahami konteks adalah faktor utama yang dapat menentukan keberhasilan atau kegagalan komunikasi.

 

Dalam konteks komunikasi organisasi, kontekstual juga berperan penting dalam menentukan cara informasi disampaikan dalam hierarki organisasi. Schramm (1971) menekankan bahwa dalam organisasi, pengiriman pesan harus disesuaikan dengan posisi dan peran individu yang terlibat. Misalnya, seorang manajer mungkin akan menyampaikan instruksi dengan cara yang berbeda kepada seorang karyawan dibandingkan dengan cara yang dia sampaikan kepada seorang rekan sejawat atau atasan. Mengetahui siapa yang terlibat dalam komunikasi dan apa peran mereka dalam konteks organisasi adalah langkah pertama untuk menyampaikan pesan yang tepat.

Contoh dalam Prinsip kontekstual

1.     Dalam sebuah pertemuan bisnis formal, seorang eksekutif menggunakan bahasa yang sangat profesional dan menyampaikan argumennya dengan penuh fakta dan angka untuk mendukung pandangannya. Sebaliknya, dalam pertemuan santai dengan teman, ia menggunakan bahasa sehari-hari yang lebih informal dan menggunakan lebih sedikit data.

2.     Seorang manajer di perusahaan multinasional yang memiliki karyawan dari berbagai latar belakang budaya memahami bahwa cara berkomunikasi di antara rekan-rekannya akan berbeda. Saat berkomunikasi dengan rekan kerja dari negara yang lebih terbuka, dia mungkin lebih langsung, tetapi dengan rekan dari negara yang lebih konservatif, ia akan lebih hati-hati dalam menyampaikan kritik atau umpan balik.

3.     Ketika berbicara di depan audiens internasional, seorang pembicara mengubah cara penyampaiannya dengan memperhatikan bahasa tubuh dan komunikasi non-verbal, agar sesuai dengan norma budaya audiens tersebut, misalnya menghindari kontak mata yang terlalu intens dengan audiens dari budaya yang lebih sopan.

 

Etika Komunikasi

Etika komunikasi berkaitan dengan prinsip moral dan nilai yang mengatur bagaimana pesan disampaikan dan diterima dalam suatu interaksi komunikasi. Etika komunikasi melibatkan pertimbangan tentang kejujuran, keadilan, dan penghormatan terhadap hak orang lain dalam proses pertukaran informasi. Menurut Beauchamp dan Childress (2001), etika komunikasi mengharuskan individu untuk berkomunikasi dengan integritas, transparansi, dan tanggung jawab, serta menghindari manipulasi atau penyalahgunaan informasi untuk kepentingan pribadi. Dalam konteks ini, etika komunikasi berfungsi untuk memastikan bahwa komunikasi dilakukan dengan cara yang adil dan menghormati martabat serta hak individu yang terlibat.

Salah satu prinsip utama dalam etika komunikasi adalah kejujuran. Pengirim pesan harus menyampaikan informasi dengan jujur, tanpa menyembunyikan fakta atau memberikan informasi yang menyesatkan. Hal ini sesuai dengan prinsip yang dikemukakan oleh Guffey dan Loewy (2010), yang menyatakan bahwa kejujuran dalam komunikasi adalah dasar dari hubungan yang saling percaya, baik dalam komunikasi pribadi maupun profesional. Menghindari kebohongan atau distorsi informasi sangat penting untuk membangun kredibilitas dan hubungan yang sehat.

Etika komunikasi juga mencakup penghormatan terhadap kerahasiaan dan privasi orang lain. Dalam beberapa situasi, terutama dalam komunikasi bisnis atau komunikasi medis, penting untuk menjaga kerahasiaan informasi yang tidak untuk disebarluaskan. Beauchamp dan Childress (2001) menekankan bahwa pelanggaran terhadap privasi atau pengungkapan informasi secara tidak sah dapat merusak hubungan dan membawa konsekuensi hukum. Dalam hal ini, etika komunikasi menuntut agar individu atau organisasi menjaga integritas dan kerahasiaan data atau informasi yang diberikan oleh pihak lain.

Selain itu, keadilan dalam komunikasi juga sangat penting. Pengirim pesan harus memastikan bahwa pesan yang disampaikan tidak mendiskriminasi atau menyinggung pihak lain. Menurut Grice (1975), prinsip kesetaraan ini penting dalam menjaga komunikasi agar tetap adil dan terbuka bagi semua pihak yang terlibat. Komunikasi yang adil tidak hanya memperhatikan pihak yang mengirim pesan, tetapi juga menghormati hak-hak penerima pesan untuk diperlakukan dengan adil dan setara. Hal ini mencakup menghindari penggunaan bahasa yang kasar, merendahkan, atau diskriminatif yang dapat merugikan pihak lain.

Dalam komunikasi organisasi, etika komunikasi memainkan peran penting dalam menjaga reputasi perusahaan dan menciptakan lingkungan kerja yang sehat. Yukl (2006) menekankan bahwa pemimpin yang mengedepankan etika komunikasi dapat menciptakan budaya perusahaan yang transparan, jujur, dan penuh kepercayaan. Etika komunikasi juga mempengaruhi hubungan antara manajer dan karyawan, serta dapat meningkatkan motivasi dan kinerja tim. Pemimpin yang berkomunikasi dengan cara yang etis akan mendapatkan loyalitas dan rasa hormat dari karyawan, yang pada akhirnya berkontribusi pada keberhasilan organisasi.

Secara keseluruhan, prinsip kontekstual dan etika komunikasi sangat penting untuk menciptakan komunikasi yang efektif, adil, dan penuh penghormatan. Konteks membantu kita untuk menyampaikan pesan dengan cara yang sesuai dengan situasi, sedangkan etika komunikasi memastikan bahwa proses komunikasi tersebut dilakukan dengan integritas, keadilan, dan rasa hormat terhadap orang lain. Kedua prinsip ini bekerja bersama-sama untuk menciptakan komunikasi yang tidak hanya efisien tetapi juga bertanggung jawab dan menghormati hak semua pihak yang terlibat.

Contoh dalam Etika Komunikasi

1.     Dalam komunikasi bisnis, seorang manajer memberikan informasi yang jujur dan transparan kepada timnya mengenai tantangan yang dihadapi perusahaan. Meskipun informasi tersebut bisa membuat karyawan khawatir, manajer memilih untuk memberikan informasi tersebut dengan cara yang jelas dan terbuka, menghargai hak karyawan untuk mengetahui situasi yang sebenarnya.

2.     Seorang dokter berbicara dengan pasiennya tentang hasil tes medis dengan cara yang penuh empati, menjaga privasi dan kerahasiaan pasien. Dia memastikan bahwa pasien memahami hasil tes tersebut dan memberi kesempatan bagi pasien untuk bertanya lebih lanjut, menunjukkan penghormatan terhadap otonomi pasien.

3.     Dalam rapat perusahaan, seorang anggota tim menyampaikan kritik terhadap proyek yang sedang berjalan tanpa menggunakan bahasa yang merendahkan. Dia mengungkapkan kritik dengan cara yang membangun, memberikan solusi, dan menyarankan perbaikan yang bisa dilakukan oleh tim, menjaga etika dan hubungan profesional yang baik.

 

RANGKUMAN

Komunikasi yang efektif bergantung kepada beberapa prinsip dasar. Pertama, komunikasi harus jelas dan mudah difahami, dengan menghindari bahasa yang berbelit-belit agar penerima pesan tidak salah tafsir. Kedua, komunikasi perlu dua arah, di mana pengirim dan penerima pesan saling mendengarkan dan memberikan respon. Hal ini penting untuk memastikan bahwa informasi yang disampaikan sampai dengan baik dan dapat diterima dengan tepat. Selain itu, komunikasi harus sesuai dengan konteks, baik dari segi budaya, situasi, maupun hubungan antara pengirim dan penerima pesan.

Prinsip ketiga adalah komunikasi harus konsisten dan terbuka. Informasi yang bertentangan atau tersembunyi dapat menyebabkan kebingunguan atau ketidakpercayaan. Keempat, komunikasi juga harus memperhatikan empati, di mana pengirim pesan harus bisa merasakan dan memahami perasaan penerima untuk menciptakan hubungan yang lebih baik. Terakhir, komunikasi harus menghormati perbedaan individu, baik dari segi latar belakang, pemikiran, maupun nilai-nilai yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Dengan prinsip-prinsip ini, komunikasi dapat berjalan dengan efektif dan membangun hubungan yang positif.

 

 

DAFTAR PERTANYAAN

  1.  Apa dampak dari kurangnya kejelasan dalam komunikasi di tempat kerja atau dalam hubungan profesional?
  2.  Apa peran struktur dan pemilihan kata dalam mencapai komunikasi yang jelas?
  3. Bagaimana cara umpan balik dapat meningkatkan kinerja dan hubungan interpersonal di dalam organisasi?
  4. Apa contoh situasi di mana pemahaman terhadap konteks sangat penting dalam komunikasi antarbudaya?
  5. Mengapa kejujuran adalah prinsip utama dalam etika komunikasi?
  6. Bagaimana konteks mempengaruhi cara kita menggunakan komunikasi verbal dan non-verbal?
  7. Apa tantangan yang dihadapi ketika memberikan umpan balik, dan bagaimana cara memberikan umpan balik yang konstruktif?
  8. Bagaimana konteks sosial dan budaya mempengaruhi cara kita berkomunikasi?

 

DAFTAR PUSTAKA

Argyle, M. (1975). Bodily Communication. Methuen.

Berlo, D. K. (1960). The Process of Communication. Holt, Rinehart and Winston.

Grice, H. P. (1975). Logic and Conversation. In P. Cole & J. Morgan (Eds.), Syntax and Semantics 3: Speech Acts. Academic Press.

Schramm, W. (1971). The Process and Effects of Mass Communication. University of Illinois Press.

Yukl, G. (2006). Leadership in Organizations (6th ed.). Pearson Education.

Guffey, M. E., & Loewy, D. (2010). Business Communication: Process and Product (7th ed.). Cengage Learning.

Rosalinda, Karneli Yeni, Sofelma 2024 Penerapan Filsafat Komunikasi Dalam Konseling Ristekdik (Jurnal Bimbingan dan Konseling Vol 9 No. 4 Hal 615-620

Syifa, Naili, F.2021.Filosofi, Konsep, dan Penggunaan Teknik Modeling Bimbingan Kelompok dan Field Trip Industry. Jawa Timur : Pemeral Edukreatif

 

PROFIL PENULIS

 

Dhea Cahya Cyntia adalah seorang mahasiswa yang lahir di Dumai pada tanggal 17 Juli 2005. Saat ini, ia sedang menempuh pendidikan di Institut Agama Islam Tafaqquh Fiddin Dumai (IAITF), di mana ia fokus pada studi keagamaan. Sebelumnya, Dhea telah menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Bidayatul Hidayah yang terletak di Rohil. Pendidikan yang ia jalani di pondok pesantren membentuknya menjadi pribadi yang berakhlak mulia dan semakin mencintai ilmu agama.Sejak kecil, Dhea memiliki cita-cita untuk menjadi seorang guru. Motto hidup Dhea adalah “Belajar tanpa henti, tumbuh tanpa batas.” Dhea percaya bahwa pendidikan adalah kunci untuk mencapai perubahan yang lebih baik dan memberikan manfaat bagi sesama.

SOAL UAS KOMUNIKASI : AYAT AL-QUR’AN ATAU HADIST YANG BERKAITAN DENGAN KOMUNIKASI

AYAT AL-QUR’AN ATAU HADIST YANG BERKAITAN DENGAN KOMUNIKASI     Dalam ajaran Islam, berbicara bukan hanya sekedar menyampaikan pesan...